BANI ABBASIYAH SEBELUM SERANGAN MONGOL
Kota Baghdad adalah ibu kota Negara pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Pada masa kejayaannya, kota Baghdad menjadi
pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa keemasan
kota Baghdad terjadi pada masa khalifah ketiga, al-Mahdi, hingga khalifah
kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid dan
al-Makmun anaknya[1][3].
Khalifah al-Makmun
membangun perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan.
Perpustakaan tersebut dinamakan dengan Bait
al-Hikmah. Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah
biasa. Dua di antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan
Muntashiriyah.[2][4]
Syamsul Bakri
mengutip dari A. Syalabi, secara umum membagi perkembangan Bani Abbasiyah dalam
tiga periode.[3][5] Periode pertama
dari Abul Abbals sampai al-Watsiq, yaitu periode di mana kekuasaan berada di
tangan khalifah. Para khalifah pada periode ini adalah ulama yang berijtihad
dan mengeluarkan fatwa, pahlawan dan pemimpin militer yang perkasa serta
memiliki kecintaan terhadap intelektual. Periode kedua dimulai masa
pemerintahan Abu Fadl al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah al-Nashir. Pada
masa ini khalifah hanya sebagai simbol, kekuasaan politik mlai berpindah dari
khalifah ke tangan orang-orang Turki, kemudian beralih ke tangan golongan
Buwaihi, dan kemudian berpindah ke tangan Bani Saljuk. Sultan–sultan kecil
sudah memiliki kedaulatan sosial-politik, sedangkan khalifah hanya sebagai
jabatan keagamaan yang sakral. Periode ketiga dimulai sejak pertengahan
al-Nashir hingga akhir Bani Abbasiyah. Periode ini merupakan masa runtuhnya
sultan-sultan kecil dan khalifah sudah memiliki kekuatan kembali hingga
akhirnya diserang pasukan Hulagu Khan dari Mongol di era khalifah Abu Ahmad
Abdullah al-Mu’tashim.
Bani Abbasiyah
mulai mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika
masa khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan kemunduran Bani
Abbasiyah, di antaranya adalah:
1. Lemahnya khalifah
Setelah kekuasaan
Bani Saljuk berakhir, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
dinasti tertentu. Para khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa kembali wilayah
kekuasaan mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad dan
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan kelemahan
politiknya.
2. Persaingan antar bangsa
Khilafah Bani
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Setelah berkuasa, persekutuan itu tetap dipertahankan. Orang-orang Persia masih
belum puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari
Persia pula.
Selain fanatisme
karaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah.
Sementara itu, khalifah mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk
menjadi tentara atau pegawai. Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap
kekhalifahan. Ketika pada masa al-Mutawakkil, seorang khalifah yang dianggap
lemah, kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Turki dan khalifah hanya
dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa
Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti Saljuk.
- kemerosotan ekonomi
Bersamaan dengan
kemunduran dibidang politik, dinasti Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran
dibidang ekonomi. Penerimaan negara menurun disebabkan makin menyempitnya
wilayah kekuasaan, banyak kerusuhan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri. Sementara pengeluaran membengkak
dikarenakan kehidupan para khalifah dan pejabat yang bermewah-mewahan. Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara morat-marit.
- konflik keagamaan
Munculnya gerakan
Zindiq, yang dilatar belakangi kekecewaan orang-orang Persia, membuat khalifah
merasa perlu mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan orang-orang tersebut
dan memberantasnya. Gerakan ini mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai terpojok, mereka berlindung di balik ajaran Syi’ah. Sehingga banyak
aliran Syi’ah yang dianggap ekstrem dan menyimpang. Syi’ah adalah aliran yang
dikenal sebagai aliran politik yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.
Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa. Selain itu
juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik antara
Mu’tazilah dengan gologan Salaf.[4][6]
Akibat dari
kemunduran dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat mereka sangat rentan terhadap
serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan tidak adanya persatuan di antara
umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah ditembus. Sehingga ketika Mongol
menyerang Baghdad, mereka dapat dengan mudah menguasainya tanpa perlawanan yang
berarti.
BANGSA MONGOL
Bangsa Mongol
berasal dari daerah pegunungan (Mongolia) yang membentang dari Asia Tengah
sampai Siberia Utara, Tibet Selatan, dan
Mancuria Barat serta Turkistan Timur, bukannya bangsa nomad stepa. Mereka merupakan salah satu anak
rumpun dari bangsa Tartar. Nama Mongol diambil dari nama tempat asal mereka di
Mongolia di mana mula-mula mereka tinggal. Sejarawan Cina beranggapan bahwa
nama Mongol berasal dari bahasa Cina “Mong” (pemberani).[5][7] Badri Yatim
mengutip dari Ahmad Syalabi menjelasakan bahwa nenek moyang bangsa Mongol
bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol. Mongol
mempunyai anak bernama Il-khan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa
Mongol dikemudian hari.[6][8]
Orang Mongol
sebagaimana bangsa nomad lain, hidup mengembara berpindah-pindah tempat dan
tinggal di tenda-tenda. Kehidupan mereka sangat sederhana, mereka hidup dengan
berburu, menggembala domba, dan budaya
perampokan sudah umum dikalangan mereka. Mereka menyembah matahari dan
bintang-bintang, sebagian ada yang menganut agama Sammaniyah dan Nestoria.
Orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani
menghadang maut untuk mencapai keinginannya. Mereka tidak beradab, pejuang,
sabar, ahli perang, tahan sakit dari tekanan musuh yang sangat kuat. Akan
tetapi, mereka sangat patuh dengan pemimpin atau kepala suku mereka.[7][9]
Pemimpin Mongol
yang paling terkenal adalah Chengis Khan. Ia lahir pada tahun 1162 M di
Daeyliun Buldagha, yang terletak di tepi sungai Onon (Unan), Mongolia. Ayahnya
bernama Ishujayi dan ibunya bernama Helena Khatun. Ishujayi berhasil menyatukan
13 kelompok suku yang ada pada saat itu. Nama asli dari chengis adalah
Temuchin. Pada usia yang masih dini ia telah dinikahkan oleh ayahnya dengan
gadis dari Deshai Chan, dari suku Unghir. Ayah Temuchin meninggal karena
diracun oleh musuhnya dari suku Tartar yang pernah ia bunuh dalam perang.
Temuchin yang saat
itu berusia 13 tahun menggantikan ayahnya sebagai pemimpin suku. Temuchin
melatih pasukannya dengan pelatihan yang keras, disiplin ketat, dan penuh
semangat. Ia dibantu oleh temannya yang bernama Tugril, yang seterusnya bekerja
sama dengan baik untuk menumpas
musuh-musuh yang kuat. Dengan bantuan Tugril, Temuchin berhasil mengalahkan
bangsa Tartar. Kemudian ia dapat mengalahkan suku-suku lainnya. Dengan
kemenangan yang bertubi-tubi, akhirnya tidak ada suku-suku Mongol lain yang
berani menentang.[8][10]
Pada tahun 1206 M,
ia mendapatkan gelar Chengis Khan, Raja Yang Perkasa sebagai pemimpin tertinggi
bangsa Mongol. Ia menetapkan undang-undang yang dinamakan Alyasak atau Alyasah,
untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Dalam bidang militer ia mulai menata
pasukannya dengan baik. Ia membagi pasukannya dalam beberapa kelompok
besar-kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin
oleh seorang komandan.
Setelah pasukannya
teroganisir dengan baik, Chengis Khan mulai memperluah daerah kekuasaanya
dengan menakhlukkan daerah-daerah lain. Peking dapat ia kuasai pada tahun 1215
M. Kemudian ia mengincar negeri-negei Islam. Pada tahun 1209 M ia membawa
pasukannya dengan tujuan Turki, Farghana, dan kemudian Samarkand. Mereka
mendapat perlawanan yang keras dari penguasa Khawarizm, Sultan Ala al-Din.
Karena seimbang, akhirnya masing-masing kembali ke Negerinya. Sepuluh tahun
kemudian mereka masuk Bukhara, Samarkan, Khurasan, Hamadhan, sampai ke
perbatasaan Irak. Di Bukhra, ibu kota Khawarizm, mereka kembali mendapatkan
perlawanan dari Sultan Ala al-Din, namun mereka berhasil mengalahkannya. Di
setiap daerah yang mereka lewati, terjadi pembunuhan besar-besaran.
Bangunan-bangunan mereka hancurkan dan sekolah-sekolah dibakar.
Setelah meninggal,
Chengis Khan membagi wilayahnya kepada empat orang anaknya, yaitu Jochi,
Chaghtai, Oghtai, dan Touly. Changtai berusaha menguasai kembali daerah-daerah
Islam yang pernah ditakhlukkan dan berhasil menguasai Khawarizm setelah
mengalahkan Sultan Jalal al-Din. Saudara Chagtai, Touly menguasai Khurasan.
Karena kerajaan Islam sudah terpecah belah, maka dapat dengan mudah ia mengusai
Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M dan digantikan putranya Hulagu Khan. Hulagu
Khan inilah yang nantinya akan menghancurkan Baghdad.
KEHANCURAN BAGHDAD
OLEH BANGSA MONGOL
Puncak kehancuran baghdad terjadi pada
tahun 1258, kehancuran ibukota mengiringi hilangnya hegemoni arab dan
berakhirnya sejarah kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Meskipun faktor eksternal,
serbuan kaum barbar (dalam kasus ini, Mongol dan Tartar)- begitu dahsyat.
Nyatanya Cuma berperan sebagai senjata pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.[9][11] Faktor internal
seperti banyak dijelaskan di bab awal lebih berperan sebagai sebab kehancuran.
Motif Serangan
Mongol di Baghdad
1. Faktor Politik
Pada tahun
615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan wali
(gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada saudagar
Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal ini
menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada
Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi
kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan
dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.[10][12]
2. Motif Ekonomi
Motif ini
diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan
dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah
penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum
berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban
maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
Pada peristiwa
penyerbuan bangsa mongol yang dipimpin oleh Hulagu, cucu Jenghis Khan di Kota
Baghdad, selain motivasi invasi dan penaklukan wilayah, penyerbuan ini adalah
puncak dari sengketa yang telah dimulai sejak tahun 1212 M (bab awal). Pada bulan safar 656 H /
tahun 1253, Hulagu bersama ribuan tentaranya membasmi kelompok pembunuh
Hasyasyin dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah.[11][13] Hulagu mengundang
Khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk bekerjasama menghancurkan kelompok
Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu tidak mendapat jawaban. Pada tahun
1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah
direbut.
Pada bulan
September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya Khurasan yang
termasyhur, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan
mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap
enggan memberikan jawaban. Pada Januari
1258, anak buah Hulagu bergerak dengan efektif untuk meruntuhkan tembok
ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah
satu menara benteng. Dengan
hancurnya salah satu menara benteng, semakin melemahkan sisa-sisa kekuatan
pasukan Khalifah. Hingga pada tanggal 10
Februari 1258, pasukan Hulagu telah berhasil memasuki kota.
Khalifah bersama 300 pejabat dan Qadhi
menawarkan penyerahan diri tanpa syarat. Peristiwa ini menurut beberapa sumber
sejarah setelah pengkhianatan wazir khalifah Abbasiyah (wazir al-Qami). Setelah
menyerahkan hadia dan diri tanpa syarat, 20 Februari (sepuluh hari setelahnya)
mereka semua dibunuh. Termasuk Khalifah, keluarga, pejabat, pasukan dan rakyat
Dinasti Abbasiyah. Selama 40 hari
pasukan Hulagu membantai, menjarah, memperkosa wanita, membunuh bayi dan
ibunya, membakar rumah ibadah dan perpustakaan yang dibangun khalifah dan
bangunan – bangunan megah di kota Baghdad.
Peristiwa ini menjadi sejarah
besar dalam peradaban Islam, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia
Islam terbengkalai tanpa khalifah. Kekosongan khalifah islam membuat umat
muslim pada abad ke-13 terhimpit diantara dua kekuatan besar. Bagian timur umat
muslim dihimpit pemanah pasukan mongol yang liar, dibagian barat dihimpit oleh para pasukan
perang salib.
DAMPAK SERANGAN MONGOL TERHADAP PERADABAN
ISLAM
Bangsa mongol meninggalkan catatan hitam
dalam sejarah peradaban islam. Bangsa mongol memang dikenal sebagai bangsa yang
pemberani, keberadaannya, kekejamanya dan kebengisannya mencapai puncak pada
masa kepemimpinan Jhengis khan dan beberapa garis keturunan kebawah. Meskipun
kesalahan – kesalahan itu sebagian dianggap telah ditebus oleh beberapa keturunannya
sebagai pembelah islam dan memberikan energi baru untuk membangkitkan kembali
kebudayaan islam. Namun, hancurnya peninggalan – peninggalan sejarah tidak bisa
terlupakan.
Seperti
dijelaskan pada bab – bab awal, serangan mongol di negeri islam khususnya di
baghdad selain berdampak berakhirnya masa khalifah Abbasiyah, tetapi menjadi
awal kemunduran umat islam terlebih khazana ke-ilmuannya. Secara khusus dampak
serangan mongol terhadap peradaban islam diantaranya :
3.
politik
kehancuran ibukota
baghdad sebagai pusat pemerintahan khalifah Abbasiyah berpengaruh besar
terhadap mundurnya peradaban islam. Kekosongan ke-khalifahan melemahkan
kekuatan umat islam, bahkan peradaban islam banyak dipandang tenggelam setelah
diapit diantara dua kekuatan musuh islam, tentara salib di barat dan pasukan
mongol di timur. Namun, anehnya Kota baghdad tidak semuanya dihancurkan,
mungkin hulagu bermaksud menjadikan baghdad sebagai tempat kediamannya,
sehingga tidak dihancurkan seperti kota—kota lainnya.[12][14] Pada rezim Il-Khan atau Hulagu,
Baghdad di turunkan posisinya menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq al-
Arabi.
4. sosial
Dampak sosial
akibat serangan mongol di ibukota khalifah abbasiyah tidak jauh berbeda dengan
kondisi politiknya. Pembunuhan massal, pembantaian bayi, anak, wanita,
pemerkosaan, penjarahan. Menjadi catatan hitam umat islam dalam perjalanan
sejarah peradaban islam. Kemakmuran yang perna dicapai pada masa khalifah Harun
Al-Rasyd dan anaknya tinggal cerita.
5. Pendidikan dan
keilmuan
Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah adalah
pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan budaya kecintaan terhadap ilmu
terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap perkembangan
keilmuan setelahnya. Pembangunan perpustakaan, tokoh buku, sekolah-sekolah,
pusat kajian dan diskusi adalah aktivitas kaum intelektualnya. Pada masa
kehancuran kota baghdad sejarah mencatat kisah pemusnahan buku-buku di Baitul
Hikma yang sebagiannya di buang di sungai Tigris . Hanya beberapa karya yang
sempat diselamatkan. Ibnu Jubayr menyatakan bahwa di Baghdad pada masa itu
terdapat sekitar tiga puluh sekolah.[13][15] salah satu sekolah
yang selamat dari malapetaka pemusnahan oleh bangsa Mongol adalah Maadrasah
Nizhamiyah dan dari sanalah sejarah dan karya-karya para ilmuan kembali di
hidupkan.
6.
Agama
Kehancuran Khalifah Abbasiyah menandai
hancurnya pemerintahan Islam bahkan mulai mundurnya peradaban Islam dalam
percaturan Internasional. Dampak dari serangan ini memperluas pengaruh kristen,
dengan ditandai dengan pemberian anugerah istimewah kepada kepala keluarga
Nestor dan keberpihakan Hulagu terhadap pasukan perang salib dan Hulagu sendiri
lebih menyukai warga Kristen dibanding warga Islam.[14][16] meskipun Pada masa
kekuasaan Ghazan Mahmud(1295 – 1304) penerus ketujuh Il-Khan Islam menjadi
Agama Negara meskipun kecenderungan kepada mahzab atau sekte Syiah.
Gambaran
singkat dampak serangan pasukan mongol di Kota Baghdad terhadap perjalanan
sejarah peradaban Islam. Dimana catatan hitam ini menjadi pelajaran berharga bagi
generasi selanjutnya. Bahkan sejarah ini juga menjadi catatan penting dalam
pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya. Lemahnya solidaritas dan perpecahan adalah
sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan mengundang pihak musuh Islam
untuk meleburkan keretakan yang sudah ada.