Sabtu, 16 Januari 2016

Tips Menghafal Ilmu

WAKTU DAN TEMPAT MENGHAFAL ILMU






Seseorang hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkan umurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya.

- Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.

- Waktu untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal hari.

- Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.


- Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.


Al-Khathib rahimahullah berkata: “Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur, setelah itu pertengahan siang, kemudian waktu pagi.”
Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, dan menghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”
Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”
Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yang menghijau, atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnya akan menghalangi kosongnya hati.”

(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullah, hal. 73-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)

Sabtu, 20 Juni 2015

Belajar Memahami Makna Sebuah Ujian

SABAR??

Setiap orang pasti menanyakan apa itu sabar?
dan bagaimana caranya agar kita sabar??
MARI SIMAK PAPARAN BERIKUT INI !!


Kehidupan yang kita lalui  tak selalu menyenangkan, sering kita merasa berputus asa dalam menyikapi ujian hidup yang  datang bertubi – tubi. Manusia sering menganggap bentuk ujian hidup hanyalah berupa penderita dan kesedihan belaka. Padahal kecukupan dan kebahagiaanpun adalah wujud dari sebuah ujian . namun kita sering lupa menganggap semua kesenangan itu sebagai ujian.

       Ujian yang berupa kebahagiaan sering membuat kita lupa untuk bersyukur kepada Sang Maha Pemberi Nikmat yaitu Allah swt dan kita sering sekali tidak menginginkan ujian yang berupa kesenangan dan kebahagiaan itu cepat berlalu.
Sangat berbeda dengan saat  dimana kita menghadapi  ujian  yang berupa kesedihan ,kekecewaan, sakit, merasa serba kekurangan  atau tertimpa suatu bencana , kita menginginkan semuanya cepat berlalu. Disaat – saat tersebutlah baru kita teringat kepada Allah swt . Kita mengetuk pintuNya di malam buta, menangis dan mengadukan nasib yang menimpa. Salahkah….?
Tentu tidak!
          Allah senang dengan hamba yang kembali padaNya. Allah senang melihat hambaNya yang mengetuk pintuNya ditengah malam buta, Allah senang melihat hambaNya berdoa  dan menangis mengharap pertolonganNya. Allah senang dengan hambaNya yang mendekat dan mengingatNya. Allah senang dengan hamba yang tidak menggantungkan hidupnya kepada sesama makhluk. Allah senang dengan prasangka baik dari hambaNya.

Dalam  sebua h hadist Qudsi  Allah swt berfirman  :
“ Aku akan berada disamping persangkaan hamba Ku kepada Ku. Jika dia ingat kepada Ku dalam dirinya, maka Aku ingat kepadanya dalam diri Ku. Jika dia ingat kepada Ku dalam kerumunan yang ramai, maka Aku ingat kepadanya dalam kerumunan yang lebih baik daripada kerumunan mereka. Jika dia mendekat kepada Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu lengan. Jika dia mendekat kepada Ku satu lengan , maka Aku mendekat kepadanya satu depa. Jika dia mendekat Ku dengan berjalan, maka Aku mendekat kepadanya dengan berlari “  (HR. Abu Hurairah)
Dengan demikian , hamba yang tengah galau dilanda duka cita janganlah  berputus asa lalu bunuh diri atau mencari – cari kesalahan orang lain dan melampiaskannya dalam kemarahan yang luar biasa atau mencari penolong kepada selain Allah swt mis. melalui perdukunan . Sama sekali tidak menyelesaikan masalah bahkan menambah panjang permasalahan .
Tidak mudah memang untuk  mampu bersikap sabar dan ikhlas, Penulispun demikian. Namun kita harus belajar dan terus belajar. Kita harus melatih diri kita untuk siap sedia menerima apapun cobaan yang diberikan Allah, baik berupa duka cita maupun senang dan bahagia. Bagaimana seseorang dapat dikatakan sabar bila tidak diuji terlebih  dahulu .

Allah telah berfirman :
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 2)
Dan satu hal penting yang harus selalu kita ingat, disaat mendapat ujian seberat apapun kita harus percaya diri bahwa kita akan mampu menyelesaikan persoalan – persoalan tersebut dengan baik karena Allah berfirman :
“Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang di luar batas kemampuannya” (Qs Al Baqarah :286)

Maka yakinlah, bahwa semua cobaan pahit dalam kehidupan tidak mungkin Allah ujikan bila kita dianggapNya tidak mampu untuk melaluinya. Allah tidak bermain – main dalam hal penciptaan apapun. Allah sangat memahami dan tahu akan kekuatan dan kemampuan hambaNya. Allah tidak asal memilih seorang hambanya untuk diuji .  Berat  ringannya suatu ujian  yang diujikan Allah kepada hambaNya telah Allah tetapkan dengan pengetahuanNya.
Hikmah dibalik sikap sabar kita dalam menghadapi ujian  diantaranya adalah seperti apa yang disabdakan Rasullah saw  :
Dari Abu Said dan Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda,
“Tiadalah seorang Muslim itu menderita kelelahan atau penyakit atau kesusahan (kerisauan hati) hingga tertusuk duri melainkan semua itu akan menjadi penebus kesalahan-kesalahannya.”
( HR Bukhari - Muslim) 
Akhir kata, ana memaparkan ini sekedar untuk sharing dan berdasarkan pengalaman hidup yang pernah ana lalui sendiri. Ketahuilah ana hanya seorang santri di sebuah pesantren yang bernama "Ma'had Al-Qur'an Wal Hadis".. Disaat keputusasaan dan persoalan hidup datang bertubi-tubi, ana  dapat bangkit dengan mengkaji  dan mencoba memperbaiki  diri serta memandang persoalan-persoalan bukan dengan  kesempitan fikir dan keterbatasan akal  serta usaha saja . Melainkan adanya keyakinan diri bahwa Allah swt tidak akan pernah membiarkan umatnya  tenggelam dalam duka selamanya .
    karena dibalik kesulitan pasti ada kemudahan dan Allah menjanjikan pahala yang besar bagi kita untuk kehidupan kita nanti.
“ Hai hamba – hambaKu yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang – orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang – orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS Az Zummzr 10 )
Semoga bermanfaat :)
Love you All :* (Maqdis Family)

Jumat, 08 Mei 2015

Sikap Toleran Terhadap Perbedaan Pendapat



   Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan perselisihan (ikhtilaf), namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan.
Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Quran dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti, dan menolak pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama.
Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.
Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya. Di sini kita bisa mengetahui betapa Imam Ahmad lebih mengutamakan sebuah esensi dari nilai Ukhuwah.
Ada ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong menolong pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan.
Jadi, kalau Malaikat dan para Nabi saja bisa berbeda pendapat, mengapa kita harus berpecah dan bermusuhan karena perbedaan?

واللهُ أعلم  SEMOGA BERMANFAAT !! :)

Minggu, 22 Maret 2015

KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAH




          Telah tercatat dalam sejarah bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun, namun disisi lain umat islam juga pernah mengalami kemunduran dan keterbelakangan.

        Dinasti Bani Abbasiyah, sebagai dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam setelah dinasti Bani Umayyah, dalam sejarah perjalanannya mengalami fase-fase yang sama dengan dinasti Umayyah, yakni fase kelahiran, perkembangan, kejayaan, kemudian memasuki masa-masa sulit dan akhirnya mundur dan jatuh.

           Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal, ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.

     Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pepatah inilah yang sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan yang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai menurun dan akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu:


A. Faktor Internal

     Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.

Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
  • 1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.

Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.[2]

Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[3] 
  • 2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[4] 

Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[5] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[6] Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
  1. Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
  2. Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
  3. Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
  4. Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
  5. Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[7] 
  • 3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[8] 
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[9] 

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
  • 4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.

Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[10] Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.

Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[12] 


B. Faktor Eksternal


Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.

Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[13] 
  • 2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). 

Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[14] Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota.[15] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.[16] Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.


KESIMPULAN


Dari uraian masalah di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 
  • 1. Kemunduran dinasti Abbasiyah, secara umum disebabkan oleh dua faktor; Internal dan Eksternal.
- Secara internal dapat dirinci sebagai berikut:
  1. Tampilnya penguasa lemah yang sulit mengendalikan wilayah yang sangat luas ditambah sistem komunikasi yang masih sangat lemah dan belum maju menyebabkan lepasnya daerah satu per satu.
  2. Kecenderungan para penguasa untuk hidup mewah, mencolok dan berfoya-foya kemudian diikuti oleh para hartawan dan anak-anak pejabat ikut menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
  3. Dualisme pemerintahan, secara de jure dipegang oleh Abbasiyah, tetapi secara de facto digerakkan oleh oleh tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh al-mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. 
  4. Praktek korupsi oleh penguasa diiringi munculnya nepotisme yang tidak profesional di berbagai propinsi. 
  5. Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma’mun secara jelas membagi Abbasiyah dalam dua kubu, yaitu kubu Arab dan Persia, Pertentangan antara Arab-non Arab, perselisihan antara muslim dengan non-muslim, dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
- Secara ekternal disebabkan oleh karena Abbasiyah menghadapi perlawanan yang sangat gencar dari dunia luar. Pertama, mereka mendapat serangan secara tidak langsung dari pasukan Salib di Barat. Kedua, serangan secara langsung dari orang Mongol yang berasal dari Timur ke wilayah kekuasaan Islam.

BANI ABBASIYAH


BANI ABBASIYAH SEBELUM SERANGAN MONGOL


Kota Baghdad adalah ibu kota Negara pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Pada masa kejayaannya, kota Baghdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada masa khalifah ketiga, al-Mahdi, hingga khalifah kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun anaknya[1][3].
Khalifah al-Makmun membangun perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan tersebut dinamakan dengan Bait al-Hikmah. Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa. Dua di antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan Muntashiriyah.[2][4]
Syamsul Bakri mengutip dari A. Syalabi, secara umum membagi perkembangan Bani Abbasiyah dalam tiga periode.[3][5] Periode pertama dari Abul Abbals sampai al-Watsiq, yaitu periode di mana kekuasaan berada di tangan khalifah. Para khalifah pada periode ini adalah ulama yang berijtihad dan mengeluarkan fatwa, pahlawan dan pemimpin militer yang perkasa serta memiliki kecintaan terhadap intelektual. Periode kedua dimulai masa pemerintahan Abu Fadl al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah al-Nashir. Pada masa ini khalifah hanya sebagai simbol, kekuasaan politik mlai berpindah dari khalifah ke tangan orang-orang Turki, kemudian beralih ke tangan golongan Buwaihi, dan kemudian berpindah ke tangan Bani Saljuk. Sultan–sultan kecil sudah memiliki kedaulatan sosial-politik, sedangkan khalifah hanya sebagai jabatan keagamaan yang sakral. Periode ketiga dimulai sejak pertengahan al-Nashir hingga akhir Bani Abbasiyah. Periode ini merupakan masa runtuhnya sultan-sultan kecil dan khalifah sudah memiliki kekuatan kembali hingga akhirnya diserang pasukan Hulagu Khan dari Mongol di era khalifah Abu Ahmad Abdullah al-Mu’tashim.
Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika masa khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.      Lemahnya khalifah
Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa kembali wilayah kekuasaan mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan kelemahan politiknya.
2.      Persaingan antar bangsa
Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Setelah berkuasa, persekutuan itu tetap dipertahankan. Orang-orang Persia masih belum puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Sementara itu, khalifah mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi tentara atau pegawai. Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap kekhalifahan. Ketika pada masa al-Mutawakkil, seorang khalifah yang dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Turki dan khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti Saljuk.



  1. kemerosotan ekonomi
Bersamaan dengan kemunduran dibidang politik, dinasti Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi. Penerimaan negara menurun disebabkan makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak kerusuhan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri. Sementara pengeluaran membengkak dikarenakan kehidupan para khalifah dan pejabat yang bermewah-mewahan. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara morat-marit.
  1. konflik keagamaan
Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi kekecewaan orang-orang Persia, membuat khalifah merasa perlu mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan orang-orang tersebut dan memberantasnya. Gerakan ini mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai terpojok, mereka berlindung  di balik ajaran Syi’ah. Sehingga banyak aliran Syi’ah yang dianggap ekstrem dan menyimpang. Syi’ah adalah aliran yang dikenal sebagai aliran politik yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa. Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik antara Mu’tazilah dengan gologan Salaf.[4][6]
Akibat dari kemunduran dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat mereka sangat rentan terhadap serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan tidak adanya persatuan di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah ditembus. Sehingga ketika Mongol menyerang Baghdad, mereka dapat dengan mudah menguasainya tanpa perlawanan yang berarti.


BANGSA MONGOL
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan (Mongolia) yang membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan,  dan Mancuria Barat serta Turkistan Timur, bukannya bangsa  nomad stepa. Mereka merupakan salah satu anak rumpun dari bangsa Tartar. Nama Mongol diambil dari nama tempat asal mereka di Mongolia di mana mula-mula mereka tinggal. Sejarawan Cina beranggapan bahwa nama Mongol berasal dari bahasa Cina “Mong” (pemberani).[5][7] Badri Yatim mengutip dari Ahmad Syalabi menjelasakan bahwa nenek moyang bangsa Mongol bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol. Mongol mempunyai anak bernama Il-khan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol dikemudian hari.[6][8]
Orang Mongol sebagaimana bangsa nomad lain, hidup mengembara berpindah-pindah tempat dan tinggal di tenda-tenda. Kehidupan mereka sangat sederhana, mereka hidup dengan berburu, menggembala domba,  dan budaya perampokan sudah umum dikalangan mereka. Mereka menyembah matahari dan bintang-bintang, sebagian ada yang menganut agama Sammaniyah dan Nestoria. Orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut untuk mencapai keinginannya. Mereka tidak beradab, pejuang, sabar, ahli perang, tahan sakit dari tekanan musuh yang sangat kuat. Akan tetapi, mereka sangat patuh dengan pemimpin atau kepala suku mereka.[7][9]
Pemimpin Mongol yang paling terkenal adalah Chengis Khan. Ia lahir pada tahun 1162 M di Daeyliun Buldagha, yang terletak di tepi sungai Onon (Unan), Mongolia. Ayahnya bernama Ishujayi dan ibunya bernama Helena Khatun. Ishujayi berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada pada saat itu. Nama asli dari chengis adalah Temuchin. Pada usia yang masih dini ia telah dinikahkan oleh ayahnya dengan gadis dari Deshai Chan, dari suku Unghir. Ayah Temuchin meninggal karena diracun oleh musuhnya dari suku Tartar yang pernah ia bunuh dalam perang.
Temuchin yang saat itu berusia 13 tahun menggantikan ayahnya sebagai pemimpin suku. Temuchin melatih pasukannya dengan pelatihan yang keras, disiplin ketat, dan penuh semangat. Ia dibantu oleh temannya yang bernama Tugril, yang seterusnya bekerja sama dengan baik  untuk menumpas musuh-musuh yang kuat. Dengan bantuan Tugril, Temuchin berhasil mengalahkan bangsa Tartar. Kemudian ia dapat mengalahkan suku-suku lainnya. Dengan kemenangan yang bertubi-tubi, akhirnya tidak ada suku-suku Mongol lain yang berani menentang.[8][10]
Pada tahun 1206 M, ia mendapatkan gelar Chengis Khan, Raja Yang Perkasa sebagai pemimpin tertinggi bangsa Mongol. Ia menetapkan undang-undang yang dinamakan Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Dalam bidang militer ia mulai menata pasukannya dengan baik. Ia membagi pasukannya dalam beberapa kelompok besar-kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.
Setelah pasukannya teroganisir dengan baik, Chengis Khan mulai memperluah daerah kekuasaanya dengan menakhlukkan daerah-daerah lain. Peking dapat ia kuasai pada tahun 1215 M. Kemudian ia mengincar negeri-negei Islam. Pada tahun 1209 M ia membawa pasukannya dengan tujuan Turki, Farghana, dan kemudian Samarkand. Mereka mendapat perlawanan yang keras dari penguasa Khawarizm, Sultan Ala al-Din. Karena seimbang, akhirnya masing-masing kembali ke Negerinya. Sepuluh tahun kemudian mereka masuk Bukhara, Samarkan, Khurasan, Hamadhan, sampai ke perbatasaan Irak. Di Bukhra, ibu kota Khawarizm, mereka kembali mendapatkan perlawanan dari Sultan Ala al-Din, namun mereka berhasil mengalahkannya. Di setiap daerah yang mereka lewati, terjadi pembunuhan besar-besaran. Bangunan-bangunan mereka hancurkan dan sekolah-sekolah dibakar.
Setelah meninggal, Chengis Khan membagi wilayahnya kepada empat orang anaknya, yaitu Jochi, Chaghtai, Oghtai, dan Touly. Changtai berusaha menguasai kembali daerah-daerah Islam yang pernah ditakhlukkan dan berhasil menguasai Khawarizm setelah mengalahkan Sultan Jalal al-Din. Saudara Chagtai, Touly menguasai Khurasan. Karena kerajaan Islam sudah terpecah belah, maka dapat dengan mudah ia mengusai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M dan digantikan putranya Hulagu Khan. Hulagu Khan inilah yang nantinya akan menghancurkan Baghdad.

KEHANCURAN BAGHDAD OLEH BANGSA MONGOL
Puncak kehancuran baghdad terjadi pada tahun 1258, kehancuran ibukota mengiringi hilangnya hegemoni arab dan berakhirnya sejarah kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Meskipun faktor eksternal, serbuan kaum barbar (dalam kasus ini, Mongol dan Tartar)- begitu dahsyat. Nyatanya Cuma berperan sebagai senjata pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.[9][11] Faktor internal seperti banyak dijelaskan di bab awal lebih berperan sebagai sebab kehancuran.
Motif Serangan Mongol di Baghdad
1.   Faktor Politik
Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.[10][12]
2.      Motif Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
Pada peristiwa penyerbuan bangsa mongol yang dipimpin oleh Hulagu, cucu Jenghis Khan di Kota Baghdad, selain motivasi invasi dan penaklukan wilayah, penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa yang telah dimulai sejak tahun  1212 M (bab awal). Pada bulan safar 656 H / tahun 1253, Hulagu bersama ribuan tentaranya membasmi kelompok pembunuh Hasyasyin dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah.[11][13] Hulagu mengundang Khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu tidak mendapat jawaban. Pada tahun 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah direbut.
Pada bulan September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya Khurasan yang termasyhur, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban.  Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak dengan efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.            Dengan hancurnya salah satu menara benteng, semakin melemahkan sisa-sisa kekuatan pasukan Khalifah.  Hingga pada tanggal 10 Februari 1258, pasukan Hulagu telah berhasil memasuki kota.
                Khalifah bersama 300 pejabat dan Qadhi menawarkan penyerahan diri tanpa syarat. Peristiwa ini menurut beberapa sumber sejarah setelah pengkhianatan wazir khalifah Abbasiyah (wazir al-Qami). Setelah menyerahkan hadia dan diri tanpa syarat, 20 Februari (sepuluh hari setelahnya) mereka semua dibunuh. Termasuk Khalifah, keluarga, pejabat, pasukan dan rakyat Dinasti Abbasiyah.  Selama 40 hari pasukan Hulagu membantai, menjarah, memperkosa wanita, membunuh bayi dan ibunya, membakar rumah ibadah dan perpustakaan yang dibangun khalifah dan bangunan – bangunan megah di kota Baghdad.
               Peristiwa ini menjadi sejarah besar dalam peradaban Islam, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia Islam terbengkalai tanpa khalifah. Kekosongan khalifah islam membuat umat muslim pada abad ke-13 terhimpit diantara dua kekuatan besar. Bagian timur umat muslim dihimpit pemanah pasukan mongol yang liar,  dibagian barat dihimpit oleh para pasukan perang salib. 

DAMPAK SERANGAN MONGOL TERHADAP PERADABAN ISLAM
Bangsa mongol meninggalkan catatan hitam dalam sejarah peradaban islam. Bangsa mongol memang dikenal sebagai bangsa yang pemberani, keberadaannya, kekejamanya dan kebengisannya mencapai puncak pada masa kepemimpinan Jhengis khan dan beberapa garis keturunan kebawah. Meskipun kesalahan – kesalahan itu sebagian dianggap telah ditebus oleh beberapa keturunannya sebagai pembelah islam dan memberikan energi baru untuk membangkitkan kembali kebudayaan islam. Namun, hancurnya peninggalan – peninggalan sejarah tidak bisa terlupakan.
            Seperti dijelaskan pada bab – bab awal, serangan mongol di negeri islam khususnya di baghdad selain berdampak berakhirnya masa khalifah Abbasiyah, tetapi menjadi awal kemunduran umat islam terlebih khazana ke-ilmuannya. Secara khusus dampak serangan mongol terhadap peradaban islam diantaranya :
3.      politik
kehancuran ibukota baghdad sebagai pusat pemerintahan khalifah Abbasiyah berpengaruh besar terhadap mundurnya peradaban islam. Kekosongan ke-khalifahan melemahkan kekuatan umat islam, bahkan peradaban islam banyak dipandang tenggelam setelah diapit diantara dua kekuatan musuh islam, tentara salib di barat dan pasukan mongol di timur. Namun, anehnya Kota baghdad tidak semuanya dihancurkan, mungkin hulagu bermaksud menjadikan baghdad sebagai tempat kediamannya, sehingga tidak dihancurkan seperti kota—kota lainnya.[12][14]          Pada rezim Il-Khan atau Hulagu, Baghdad di turunkan posisinya menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq al- Arabi.
4.  sosial
Dampak sosial akibat serangan mongol di ibukota khalifah abbasiyah tidak jauh berbeda dengan kondisi politiknya. Pembunuhan massal, pembantaian bayi, anak, wanita, pemerkosaan, penjarahan. Menjadi catatan hitam umat islam dalam perjalanan sejarah peradaban islam. Kemakmuran yang perna dicapai pada masa khalifah Harun Al-Rasyd dan anaknya tinggal cerita.
5.    Pendidikan dan keilmuan
Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah adalah pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan budaya kecintaan terhadap ilmu terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap perkembangan keilmuan setelahnya. Pembangunan perpustakaan, tokoh buku, sekolah-sekolah, pusat kajian dan diskusi adalah aktivitas kaum intelektualnya. Pada masa kehancuran kota baghdad sejarah mencatat kisah pemusnahan buku-buku di Baitul Hikma yang sebagiannya di buang di sungai Tigris . Hanya beberapa karya yang sempat diselamatkan. Ibnu Jubayr menyatakan bahwa di Baghdad pada masa itu terdapat sekitar tiga puluh sekolah.[13][15] salah satu sekolah yang selamat dari malapetaka pemusnahan oleh bangsa Mongol adalah Maadrasah Nizhamiyah dan dari sanalah sejarah dan karya-karya para ilmuan kembali di hidupkan.
6.      Agama
Kehancuran Khalifah Abbasiyah menandai hancurnya pemerintahan Islam bahkan mulai mundurnya peradaban Islam dalam percaturan Internasional. Dampak dari serangan ini memperluas pengaruh kristen, dengan ditandai dengan pemberian anugerah istimewah kepada kepala keluarga Nestor dan keberpihakan Hulagu terhadap pasukan perang salib dan Hulagu sendiri lebih menyukai warga Kristen dibanding warga Islam.[14][16] meskipun Pada masa kekuasaan Ghazan Mahmud(1295 – 1304) penerus ketujuh Il-Khan Islam menjadi Agama Negara meskipun kecenderungan kepada mahzab atau sekte Syiah.
            Gambaran singkat dampak serangan pasukan mongol di Kota Baghdad terhadap perjalanan sejarah peradaban Islam. Dimana catatan hitam ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya. Bahkan sejarah ini juga menjadi catatan penting dalam pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya.  Lemahnya solidaritas dan perpecahan adalah sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan mengundang pihak musuh Islam untuk meleburkan keretakan yang sudah ada.